Raungan hewan-hewan besi sudah memekak sejak fajar menyingsing. Mengisi
jalur aspal dengan kebisingan, kesemrawutan dan kepadatan. Mentari tentu cerah
pagi itu, karena tidak pernah mentari cerah pada malam hari. Jalan yang berdiri
di udara bak akan runtuh ketika para pengendara kendaraan berkendara diatasnya,
getaran beton dan pekikan klakson sudah menjadi menu sarapan setiap pagi bagi
mereka yang mengistirahatkan hidup bersama naungan jembatan. Udara segar khas
buangan sisa pembakaran fosil tentu lebih cepat terasa ketimbang semua hal
tadi. Tak sebanding dengan apa yang diberikan oleh makhluk hijau yang seakan
tak memiliki hak hidup disana.
Bagi sebagian mereka yang baru dan belumlah terbiasa, atau bahkan yang
selalu merasakan, maka semuanya sudah seperti neraka. Entah bagaimana mereka
berpikir, tapi hanya dengan melihat apa yang mereka rasakan, mereka bisa bisa
saja mengatakan itu neraka. Tapi itu tak berlaku bagi Sena, bocah kecil lusuh
ini sangat antusias, tak peduli pagi itu cerah, mendung, hujan, sejuk bahkan
terik sekalipun. Senyum dan semangat selalu ia kobarkan dalam hati dan
gerakannya.
Apakah tidak terasa olehnya bahwa sekelilingnya hanyalah perkampungan
kumuh dibawah jembatan? Apa keindahannya? Apa kelayakannya? Bocah kecil itu
menatap pantulan wajahnya pada sebuah pecahan cermin yang sudah tergores gores.
Senyum ia lukiskan sebelum meletakkan cermin pada kotak kayu bekas. Ia berjalan
kearah seorang perempuan tua yang duduk bersimpuh, menggerus rotan yang nanti
akan dijual, tidak banyak laba memang, paling tidak bisa membantu menjaga perut
agar tidak kelaparan. Ia menabik wanita tua itu, dengan memohon restu dan ridho
akan apa yang ia kerjakan. Ya, wanita itulah satu satunya manusia yang bisa ia
cintai dari relung hati, tak ada yang lain. Niat tulus adalah dasar
semangatnya, melangkah meninggalkan wanita tua itu menuju keluar dari naungan
jembatan.
Jika kebanyakan anak seusianya di pagi hari itu melangkah bahagia menuju
lembaga pendidikan cap pintar atau yang biasa dikata sekolah, maka itu tidak
ada bagi Sena, di pagi yang belum hangat ia harus melangkah menuju tempat usaha
rumahan pembuat cobek, atau batu penggiling. Selalu begitu setiap pagi. Menjadi
penjual cobek keliling tentunya adalah sesuatu yang begitu berat bagi bocah
seusianya, memikul satuan bahkan belasan cobek di bahunya yang kurus adalah
aktifitas kesehariannya. Ditambah lagi cobek-cobek itu bukan miliknya, hanya
membantu menjual. Berapalah penghasilannya yang dipakai untuk hidup bersama
sang ibu jika dibandingkan dengan jajan anak anak sekolahan zaman kini. Bahkan
hanya sepotong sedang ubi rebus yang mengisi perutnya, tetapi tak ada rasa
keluh kesah lapar atau bahkan ingin pingsan dalam gelayutan pikirannya. Tegar
memang, bocah yang telah yatim itu selalu berhiaskan senyuman pada parasnya
yang tampan, namun terkotor oleh kelelahan dan kemelaratan yang tak
tersembunyikan.
Tak banyak perubahan drastis ke atas yang ia rasakan, itu dari pandangan kasar setelah sang ayah
wafat akibat bencana alam yang melanda desa. Ekonomi hidup Sena dan Ibunya
semakin melarat, kejamnya kehidupan kota
mau tak mau harus ia sabarkan di hati. Tak ada pilihan lain, ketika sang ayah
wafat dan kehidupan desa yang sudah tak memiliki prospek cerah, maka kota adalah tantangan yang
mesti ditantang. dalam enam bulan terakhir.
Derap langkah kecil menapak aspal jalanan nan ramai akan kesemrawutan
lalu lintas. Tangannya dibebani berkilo batu cobek, titik peluh mengaliri
keningnya. Ia meletakkan dagangannya di tepian musholla sederhana yang
berlantaikan keramik putih di tepi jalanan.. Membasahi jiwa dan fisiknya dengan
air wudhu’ yang seolah melunturkan segala kepenatan dan kepanasan. Ia bertakbir
dengan hati sungguh, menghadapkan jasadnya kepada Yang Maha Adil. Hingga
selesailah peribadatan, ia ucapkan salam kepada kanan dan kiri.
Istirahat di pelataran mesjid adalah suasana yang sangat ampuh untuk
memudarkan segala rona keletihan. Menikmati bekal ubi rebus untuk mengisi
kembali tenaga.
Seorang lelaki muda duduk tenang di tepi mihrab, menyandarkan punggung
dan melepaskan nafas. membaca buku – buku
profitabel di mesjid sangat menenangkan baginya setelah Al Furqan. Dalam
beberapa saat ia lihat bocah penjual cobek itu, ketenangan yang tergambar dalam
diri anak itulah yang membuat pemuda ingin bercengkrama dengannya, bertanya
tentang kesehariannya beberapa hari yang lalu. Kala itu Ia mendekati Sena yang
asyik bersitirahat, duduk dan bertanya tentang nama. Dan entah apa pula yang
membuatnya ingin untuk lebih bertanya tentang Sena lagi, hingga ia menemukan
apa-apa yang kerap Sena kerjakan dalam hidupnya.
Lelaki muda itu bertanya kepada Sena, “Sena, jikalau Allah SWT memberimu
kesempatan untuk memilih kehidupan yang akan kau jalani di dunia, dan bersedia
mengulangi waktu untukmu, maka kehidupan yang bagaimana yang ingin kau
rasakan?” Pertanyaan itu tiba tiba saja muncul dalam lafadz lidahnya. Pikir si
pemuda, itu hanya pertanyaan bodoh, siapa pun yang ditanya seperti itu tentulah
akan berharap kehidupan terbaik tanpa kemelaratan dan kesedihan apalagi.
“Aku tetap ingin kehidupanku yang sekarang”
Jawabannya menghentakkan hati sang pemuda, apakah dia bergurau? Tapi si
pemuda sadar bahwa Sena tidak pernah dilihatnya bergurau selama ia berkenalan.
“Tidakkah kau mau kehidupan yang lebih baik?”
“Apakah kehidupanku ini begitu buruk sehingga aku harus memaksa Allah
untuk mengulang waktuku? Ku rasa kenikmatan yang aku nikmati sudah sangat
banyak. Jadi buat apa lagi aku berkhayal khayal yang seperti itu. Paling tidak
aku bahagia, karena Allah Azza wa Jalla
telah memberiku kesempatan untuk bisa bekerja demi orangtuaku dan aku
bahagia”
Pemuda itu terpana, ‘apakah benar anak ini masih 13 tahun seperti yang ia
katakan? Tak pernah aku dengar ucapan seperti ini keluar dari mulut seorang
bocah. Begitu tingginya kebahagiaan Anak ini jika bisa membantu Ibunya. ‘ Pikir
dan rasa hati si pemuda.
“Bagiku apa yang telah Tuhan berikan padaku sekarang, sudah
sangat lebih dari cukup. Biarkanlah Tuhan berdaulat penuh atas diriku, aku tak
peduli. Aku percaya, bahwa apa yang aku rasakan sekarang adalah kehidupan terbaik
yang Tuhan berikan padaku. Kesedihan yang aku rasakan bukanlah sebuah
penderitaan, karena dekat kepada Tuhan pun tentu tidak tanpa air mata. Aku
percaya, Tuhan tidak akan mengecewakanku.”
Tak
ada
respon dari pemuda, hatinya entah apa terasa. Kalimat dari Sena benar
benar
mendiamkannya. Sena bangkit dari duduknya, berpamitan pada si pemuda.
Menggerakkan langkah kaki, menuju tempat cinta akan bertumbuh,
melanjutkan
rajutan mimpi yang tertunda bersama cobek cobek. Melanjutkan bahagia,
dari matahari tiba hingga rembulan meninabobokan seisi dunia..
-Soni Indrayana-
No comments:
Post a Comment