Selamat datang di Sajak Sahabat, Sebuah Coretan Kecil Tentang Mimpi dan Kehidupan

Thursday 1 November 2012

Bocah Penjual Cobek

            Raungan hewan-hewan besi sudah memekak sejak fajar menyingsing. Mengisi jalur aspal dengan kebisingan, kesemrawutan dan kepadatan. Mentari tentu cerah pagi itu, karena tidak pernah mentari cerah pada malam hari. Jalan yang berdiri di udara bak akan runtuh ketika para pengendara kendaraan berkendara diatasnya, getaran beton dan pekikan klakson sudah menjadi menu sarapan setiap pagi bagi mereka yang mengistirahatkan hidup bersama naungan jembatan. Udara segar khas buangan sisa pembakaran fosil tentu lebih cepat terasa ketimbang semua hal tadi. Tak sebanding dengan apa yang diberikan oleh makhluk hijau yang seakan tak memiliki hak hidup disana.

Bagi sebagian mereka yang baru dan belumlah terbiasa, atau bahkan yang selalu merasakan, maka semuanya sudah seperti neraka. Entah bagaimana mereka berpikir, tapi hanya dengan melihat apa yang mereka rasakan, mereka bisa bisa saja mengatakan itu neraka. Tapi itu tak berlaku bagi Sena, bocah kecil lusuh ini sangat antusias, tak peduli pagi itu cerah, mendung, hujan, sejuk bahkan terik sekalipun. Senyum dan semangat selalu ia kobarkan dalam hati dan gerakannya.
Apakah tidak terasa olehnya bahwa sekelilingnya hanyalah perkampungan kumuh dibawah jembatan? Apa keindahannya? Apa kelayakannya? Bocah kecil itu menatap pantulan wajahnya pada sebuah pecahan cermin yang sudah tergores gores. Senyum ia lukiskan sebelum meletakkan cermin pada kotak kayu bekas. Ia berjalan kearah seorang perempuan tua yang duduk bersimpuh, menggerus rotan yang nanti akan dijual, tidak banyak laba memang, paling tidak bisa membantu menjaga perut agar tidak kelaparan. Ia menabik wanita tua itu, dengan memohon restu dan ridho akan apa yang ia kerjakan. Ya, wanita itulah satu satunya manusia yang bisa ia cintai dari relung hati, tak ada yang lain. Niat tulus adalah dasar semangatnya, melangkah meninggalkan wanita tua itu menuju keluar dari naungan jembatan.
Jika kebanyakan anak seusianya di pagi hari itu melangkah bahagia menuju lembaga pendidikan cap pintar atau yang biasa dikata sekolah, maka itu tidak ada bagi Sena, di pagi yang belum hangat ia harus melangkah menuju tempat usaha rumahan pembuat cobek, atau batu penggiling. Selalu begitu setiap pagi. Menjadi penjual cobek keliling tentunya adalah sesuatu yang begitu berat bagi bocah seusianya, memikul satuan bahkan belasan cobek di bahunya yang kurus adalah aktifitas kesehariannya. Ditambah lagi cobek-cobek itu bukan miliknya, hanya membantu menjual. Berapalah penghasilannya yang dipakai untuk hidup bersama sang ibu jika dibandingkan dengan jajan anak anak sekolahan zaman kini. Bahkan hanya sepotong sedang ubi rebus yang mengisi perutnya, tetapi tak ada rasa keluh kesah lapar atau bahkan ingin pingsan dalam gelayutan pikirannya. Tegar memang, bocah yang telah yatim itu selalu berhiaskan senyuman pada parasnya yang tampan, namun terkotor oleh kelelahan dan kemelaratan yang tak tersembunyikan.
Tak banyak perubahan drastis ke atas yang ia rasakan,  itu dari pandangan kasar setelah sang ayah wafat akibat bencana alam yang melanda desa. Ekonomi hidup Sena dan Ibunya semakin melarat, kejamnya kehidupan kota mau tak mau harus ia sabarkan di hati. Tak ada pilihan lain, ketika sang ayah wafat dan kehidupan desa yang sudah tak memiliki prospek cerah, maka kota adalah tantangan yang mesti ditantang. dalam enam bulan terakhir.
Derap langkah kecil menapak aspal jalanan nan ramai akan kesemrawutan lalu lintas. Tangannya dibebani berkilo batu cobek, titik peluh mengaliri keningnya. Ia meletakkan dagangannya di tepian musholla sederhana yang berlantaikan keramik putih di tepi jalanan.. Membasahi jiwa dan fisiknya dengan air wudhu’ yang seolah melunturkan segala kepenatan dan kepanasan. Ia bertakbir dengan hati sungguh, menghadapkan jasadnya kepada Yang Maha Adil. Hingga selesailah peribadatan, ia ucapkan salam kepada kanan dan kiri.
Istirahat di pelataran mesjid adalah suasana yang sangat ampuh untuk memudarkan segala rona keletihan. Menikmati bekal ubi rebus untuk mengisi kembali tenaga.
Seorang lelaki muda duduk tenang di tepi mihrab, menyandarkan punggung dan melepaskan nafas. membaca buku – buku  profitabel di mesjid sangat menenangkan baginya setelah Al Furqan. Dalam beberapa saat ia lihat bocah penjual cobek itu, ketenangan yang tergambar dalam diri anak itulah yang membuat pemuda ingin bercengkrama dengannya, bertanya tentang kesehariannya beberapa hari yang lalu. Kala itu Ia mendekati Sena yang asyik bersitirahat, duduk dan bertanya tentang nama. Dan entah apa pula yang membuatnya ingin untuk lebih bertanya tentang Sena lagi, hingga ia menemukan apa-apa yang kerap Sena kerjakan dalam hidupnya.
Lelaki muda itu bertanya kepada Sena, “Sena, jikalau Allah SWT memberimu kesempatan untuk memilih kehidupan yang akan kau jalani di dunia, dan bersedia mengulangi waktu untukmu, maka kehidupan yang bagaimana yang ingin kau rasakan?” Pertanyaan itu tiba tiba saja muncul dalam lafadz lidahnya. Pikir si pemuda, itu hanya pertanyaan bodoh, siapa pun yang ditanya seperti itu tentulah akan berharap kehidupan terbaik tanpa kemelaratan dan kesedihan apalagi.
“Aku tetap ingin kehidupanku yang sekarang”
Jawabannya menghentakkan hati sang pemuda, apakah dia bergurau? Tapi si pemuda sadar bahwa Sena tidak pernah dilihatnya bergurau selama ia berkenalan.
“Tidakkah kau mau kehidupan yang lebih baik?”
“Apakah kehidupanku ini begitu buruk sehingga aku harus memaksa Allah untuk mengulang waktuku? Ku rasa kenikmatan yang aku nikmati sudah sangat banyak. Jadi buat apa lagi aku berkhayal khayal yang seperti itu. Paling tidak aku bahagia, karena Allah Azza wa Jalla  telah memberiku kesempatan untuk bisa bekerja demi orangtuaku dan aku bahagia”
Pemuda itu terpana, ‘apakah benar anak ini masih 13 tahun seperti yang ia katakan? Tak pernah aku dengar ucapan seperti ini keluar dari mulut seorang bocah. Begitu tingginya kebahagiaan Anak ini jika bisa membantu Ibunya. ‘ Pikir dan rasa hati si pemuda.
            Bagiku apa yang telah Tuhan berikan padaku sekarang, sudah sangat lebih dari cukup. Biarkanlah Tuhan berdaulat penuh atas diriku, aku tak peduli. Aku percaya, bahwa apa yang aku rasakan sekarang adalah kehidupan terbaik yang Tuhan berikan padaku. Kesedihan yang aku rasakan bukanlah sebuah penderitaan, karena dekat kepada Tuhan pun tentu tidak tanpa air mata. Aku percaya, Tuhan tidak akan mengecewakanku.”
            Tak ada respon dari pemuda, hatinya entah apa terasa. Kalimat dari Sena benar benar mendiamkannya. Sena bangkit dari duduknya, berpamitan pada si pemuda. Menggerakkan langkah kaki, menuju tempat cinta akan bertumbuh, melanjutkan rajutan mimpi yang tertunda bersama cobek cobek. Melanjutkan bahagia, dari matahari tiba hingga rembulan meninabobokan seisi dunia..
-Soni Indrayana-

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...