Wanita itu berdiri tegak, diam layaknya sebuah pilar di selasar istana.
Cuaca yang dingin dan beku sama sekali tidak membuatnya goyah. Ia terus
memandangi kolam dengan mata hening. Sesekali ia memejamkan mata lalu
membukanya kembali, juga memegangi pagar pembatas. Ia tatap pantulan wajahnya
di kolam, kulit putih bersih, paras nan sungguh elok dan sorot mata yang indah,
benar benar suatu ciri kepantasan sebagai seorang ratu yang menguasai.
Apakah yang ada dalam pikiranmu
wahai, ‘Yang Mulia’ ? Tentu tak ada yang berani mengusik kesendirianmu, atau
jika ia ingin mencari masalah. Semembahana apa perasaan mu kini? Bukankah
engkau sepatutnya bergembira? Engkau seorang ratu yang berkuasa, engkau adalah
yang paling dihormati seluruh masyarakat negerimu. Lalu kenapa dengan
kegalauanmu?.
Sesosok pria menghampirinya dan mencoba ingin tahu tentang perasaan Yang
Mulia. Tentulah pria itu seorang bangsawan kerajaan, kalau tidak, kecil
kemungkinan ada masyarakat biasa yang
bisa memasuki istana.
“Tidakkah engkau lelah Yang Mulia? Sudah larut, namun engkau belum
tidur.” Bangsawan itu bertanya langsung
kepada ratunya, setelah sempat menundukkan badan tanda penghormatan.
“Bukankah kita sudah bersahabat sejak kecil? Pastilah engkau tahu
bagaimana aku” Ratu menjawab pertanyaan bangsawan yang sesungguhnya telah lama
menjadi teman sepermainannya, sebelum ia menjadi ratu.
“Adakah yang engkau sedihkan Yang Mulia? Beristirahatlah. Engkau sudah
terlalu banyak mengurusi negeri, dan aku tak pernah mendengar ada penguasa yang
sepertimu”
Ratu hanya mendiamkan diri, ia tak menjawab atau memberi tanggapan dari
apa yang disampaikan bangsawannya, ia terus memandangi kolam sekali kali
melihat kearah bintang bintang yang berpijar. Ia memejamkan mata, menunduk dan
meneteskan air mata. Bangsawan itu merasa terpelik kala melihat ratunya
menangis.
“Yang Mulia?”
“Kau tahu, aku adalah orang yang paling menyedihkan di kerajaan ini.” Air
mata Ratu terus mengalir dan memerahkan netra.
“Aku juga adalah orang yang paling kesepian”
“Yang Mulia, ada apa denganmu?” Bangsawan itu tak mengerti apa arti air
mata yang mengaliri mata junjungannya. Yang ia tahu, meski kehidupan sebelum
menjadi ratu kerap dilanda kesedihan, tapi ia tak pernah mendapati bahwa Yang
Mulia bersedih tanpa sesuatu yang jelas, apalagi ketika ia telah menjadi
penguasa.
“Betapa menyedihkannya diriku, aku adalah manusia yang tidak punya nama.
Semua orang mulai dari bangsawan, panglima, tentara, pedagang, kuli, hingga
pemulung sekalipun memiliki nama. Sedangkan aku? Namaku Yang Mulia. Tidak ada satupun
orang yang memanggil namaku. Dan itu adalah kenyataan yang begitu menghancurkan
perasaanku”
Apa yang dikatakan Sang Ratu sangat dipahami oleh bangsawan, ia adalah
orang yang paling dekat dengan Ratu, sedari dulu.
“Aku adalah Yang Mulia, orang orang tunduk dan takut padaku, semuanya
menunduk kehadapanku. Apakah menurutmu itu sebagai suatu anugerah?”
Mungkin ada perbedaan kontras pada dirimu dibandingkan para penguasa
lain. Engkau yang sebelum menjadi ratu selalu dekat dengan rakyat dan
terbiasa bergaul dengan masyarakat jelata, tentu merasa kehilangan sesuatu kala Engkau harus menjadi Ratu.
“Jika engkau ingin aku menjadi pengobatmu, maka aku bersedia untuk
memanggilmu dengan namamu” Mata bangsawan itu mulai memerah, rona wajah mulai
dirundung keibaan. Ia mendekat, meraih tangan Sang Ratu.
“Lakukan itu, dan kau akan dianggap sebagai pengkhianat kerajaan” Sergah Sang Ratu. Menyebut nama seorang
penguasa adalah sesuatu yang sangat dilarang, melakukannya sama saja dengan
mendekatkan diri pada kematian. Namun bagi Sang Ratu, semua itu adalah
kesengsaraan yang membahana.
Bangsawan terdiam, dalam hatinya ia bangga kepada Sang Ratu, seorang
wanita yang menjadi sahabatnya sedari kecil bahkan menjadi satu satunya wanita
yang ia simpan ke dalam kalbu. Tak sempat ia mengungkapka rasa cintanya,
terlebih lagi, setelah Wanita idamannya menjadi ratu, semua itu semakin sulit. Apakah engkau tahu itu Yang Mulia?
“Kau jatuh cinta padaku, kan?”
Ratu mengajukan pertanyaan itu dengan tiba tiba, bangsawan yang sedikit terkejut
hanya diam, menatap ke dalam mata Sang Ratu yang paling dalam, seolah berusaha
mengirimkan curahan hatinya hanya dengan sorot mata.
-Soni Indrayana-
-Soni Indrayana-
No comments:
Post a Comment