Selamat datang di Sajak Sahabat, Sebuah Coretan Kecil Tentang Mimpi dan Kehidupan

Sunday 15 September 2013

Mawar Putih Untuk Ibu

- Mawar putih untuk Ibu -

Hari ini, gebaplah sudah ketidak tahuanku tentang hari. Hari yang dulu keberlari bersamanya. Hari yang dulu kelewati bersama kedua orang tuaku, kini, aku telah menjadi manusia tak bernyawa. Sosok tubuh didasar lahat. Memanjang menghadap tanah di ruang sempit ini. Jalanlah yang menjadi saksi akan kemampiranku di ruang ini.Sempit.
Gelap.
Seorang diri.
Tanpa kawan.Orang tuaku tidak tahu alur kematianku. Jalan, bersama orang-orang dipinggir jalanlah yang merekam jelas detik-detik kematianku. Batu-batu kecil yang dirapatkan oleh cairan panas hitamlah yang merasakan detak nadiku dan mendengarkan ritme nafas-nafas terakhirku. Tergeletak tak berwarna bersama mawar putih yang ingin kuberikan kepada ibuku. Sebagai pengungkapan rasa kebahagiaanku akan terijabahnya doa ibuku. Aku lulus dari seragam putih abu-abu yang kujalani tiga tahun lamanya, tanpa bapak berada di tengah-tengah kami. Bapak telah meninggalkan kami. Meninggalkan aku, Tepatnya enam bulan sebelum kelulusanku.Aku terkapar tak berdaya bersama mawar putih yang sebagian kelopaknya berserakan. Kini, mawar disampingku tidak lagi menampilkan warna putih, melainkan merah merekah karena darah yang keluar deras dari kepalaku. Jasadku menjadi pusat perhatian. Berpuluh tatapan kesedihan, iba, miris tersampaikan dari orang-orang yang melihatku. Sementara, saksi kini diinterogasi akan terjadinya tragedi."Kejadiannya gini, Mbak. Motor korban datang dari arah kampung melayu, lampu masih hijau tuh, Mbak. Ketika lampu sudah kuning, yang nabrak ini mbak ini gak sabaran. Maen nyelonong aja gitu. Korban mungkin dalam kecepatan tinggi dan yang nabrak mbak ini main gas aja motornya. Adek ini terpental akhirnya, tuh. Nggak tau nih, Mbak. Mudah-mudahan kagak koit. Kayaknya baru lulus. Jadi inget anak saya."Terasa betul akan benturan ini, seperti tendangan keras berlapis baja menghantam bagian kiriku. Angin sempat membopongku meninggi beberapa meter. Dengan kasar angin pun menghempaskan tubuhku ke aspal. Benturan keras mengoyak pundak seragamku, sebuah pukulan menyakitkan merobek bagian belakang kepalaku. Dua hingga tiga kali, tubuhku berayun-ayun mencium aspal kasar. Seperti hempasan kepingan batu yang dilemparkan ke sungai. Batu pipih itu menepak air berkali-kali hingga tenggelam. Dan kini, diriku benar-benar tenggelam dalam darah. Tenggelam bersama luka yang menganga.Sebelum berangkat pergi menuju sekolah, entah kenapa hatiku tiba-tiba menangis. Teramat sedih. Merindukan masa-masa kecil dulu. Merindukan genggaman tangan Bapak yang mengajakku ke mushala. Entah ada angin apa seolah setiap perbuatanku ialah pertanda.Pukul sembilan pagi, aku berangkat kesekolah dengan motor vespa warisan Bapak.
Aku keluar dari tempat persemedianku. Berjalan lunglai ke arah jemuran. Mengambil handuk dan bergegas menuju kamar mandi. Aku lihat ibu ada disana bersama cucian."Mau mandi? Mandi deh," Kata ibu.
Ibu bangkit dari jongkoknya. Memasukan pakaian-pakaian kotor yang sebagian pakaian itu milik tetangga. Tentu kalian bisa menyimpulkan profesi ibuku. Sepeninggalan bapak, ibu menjual jasa pencucian demi keberlangsungan hidupku. Ember-ember besar ibu geser agar ruang mandiku terasa longgar.
Ibu dengan pakaian daster lepek menyingkir kedapur. Detik itu, sebelum pintu kamar mandi tertutup, aku melihat wajah ibu untuk kesekian kalinya. Entah kali ini, ada perasaan lain yang menggelayuti perasaanku. Terekam jelas tetesan keringat yang menggaris dari kening menuju pipi. Keringat pun jatuh dari dagu. Desah nafasnya memburu. Tubuhnya begitu ringkih seirama nafasnya yang memperdengarkan bunyi ngik, ngiikk, nggikk.Cukup lama aku memandang dengan pandangan tidak biasa keppda ibuku. Sepertinya, hatiku telah menjabarkan segudang kesalahan kepada kedua orang tuaku. Ketidakberbaktian dan ketaatan akan petuah-petuah yang beliau berikan kepadaku. Meskipun pintu kamar mandi tertutup, seolah hatiku tidak tertutup untuk menjabarkan dosa-dosa yang kuperbuat kepada orang tua, terlebih Tuhanku."Dah selesai?"
"Emh...," jawabku singkat.Aku langsung berbenah, mengenakan seragam. Mesin Vespa kupanaskan. Kopling ku hentak kebawah sekali. Namun, seolah hatiku melarang untuk melanjutkan perjalanan. Aku tidak mengerti kenapa diriku meminta, setidaknya untuk kali ini, untuk berpamitan, cium tangan, dan mengucapkan salam. Padahal, sebelumnya aku tidak pernah lakukan. Berangkat sekolah, berangkat saja. Tidak ada acara seremoni pamitan, cium tangan, dan mengucap salam.
Tapi entah kenapa kali ini, hatiku berbeda. Diriku meminta untuk berbuat demikian. Setidaknya untuk kali ini saja. Aku langsung mematikan mesin Vespa. Aku kembali kedalam rumah mencari ibu. Ibu kulihat masih setia pada pekerjaannya. Aku langsung berlari merangkul ibu. Ibu kaget bukan main, wajahku menjadi sasaran amukan pakaian yang digenggamnya. Aku tahu, paham sekali. Ibu mengira tidak terdengar lagi suara Vespa pertanda aku telah berangkat menuju sekolah."Eh, ibu kira sapa. Maen nemplok aje kayak kodok."
Aku cengar-cengir, tanganku berulang kali mengibas-ngibas busa diseragamku.
"Kenape lo, Man, kok belum berangkat? Emhh..., ibu tahu, nih. Duit jajan belum. Kan?" Kata ibu sambil tersenyum.
"Bentar, ye. Tunggu bentar."Sambil menunggu ibu keluar dari kamar, aku masuk kedalam kamar mandi, mengambil ember kosong. Aku isi dengan setengah air. Kucampur air yang ada di ember dengan air panas. Tanganku mengaduk-aduk. Kurasakan air berubah hangat. Seragam beserta sepatu warior masih kukenakan. Aku angkat ember keruang depan. Aku tunggu ibu disana."Nih, Man."
Aku hanya tersenyum, menolak pemberiannya. Ibu tampak aneh melihat perilakuku. Aku tuntun ibu agar duduk dibangku. Aku lepaskan tas dari pundakku. Ember yang berisi air hangat aku geser hingga mendekati kaki ibu. Aku angkat kedua kaki ibuku perlahan. Ember kini pas berada dibawah surganya. Kedua tanganku perlaham menatih kedua kaki ibuku masuk ke dalam air hangat.
Aku menatap ibu. Kedua tanganku mengerjakan tugasnya. Membersihkan kedua kaki ibuku. Membersihkan dengan rasa cinta tulusku pada sosok malaikat dunia yang telah melahirkan dan membesarkanku hingga kini. Hingga detik ini, hingga aku masih diberi kesempatan merasakan ketulusan cintanya."Bu...," kataku. Aku lihat ada genangan air tertahan dipelupuk mata ibuku. Bibirnya gemetar.
"Maafin Rahman, ye. Maafin kesalahan Rahman. Rahman nggak berbakti sama ibu. Rahman selalu ngecewain ibu. Rahman selalu buat ibu nangis. Rahman bukan anak yabg baek."
"Bu..." Suaraku bergetar "Maafin Rahman. Ibu maukan maafin Rahman.?" Aku cium kedua tangannya yang kasar. Aku menangis dalam pangkuannya. Kepalaku diusapnya lembut. Teramat lembut. Sampai-sampai hati yang diwakili air mata begitu deras membasahi pipiku. Sampai aliran air di dalam hidungku hampir keluar bila tidak aku hirup.
Wajahku diangkat lembut oleh tangannya. Aku lihat senyuman dari hati terpancar dari wajah ibuku. Ibuku mengangguk-anggukan kepala. Derai air mata tampat membuat garisan dikedua pipi ibuku. Wajahku diapit oleh kedua tangan kasar ibuku. Kedua jempolnya mengusap air mataku."Sudah shalat?"
Pertanyaan itu yang selalu ditanyakan kepadaku. Berulang kali. Aku tahu kini ibu menyuruhku shalat. Kali ini, aku menuruti perintahnya. Kuhadapkan wajahku kepada-Nya yang telah meninggikan langit dan melandaikan bumi. Dan, memperkenankan aku lahir dari rahimnya.Inilah shalat pertama yang kulakukan. Dan, shalat terakhir yang kukerjakan. Shalat yang begitu menentramkan jiwa. Sampai terisak-isak aku dibuatnya. Aku tidak tahu mengapa. Aku shalat sambil menangis. Aku sendiri tidak tahu apa yang aku tangisi. Hingga kusadar, niat shalat yang kutegakkan untuk pertama dan terakhir ialah shalat taubat. Setelah shalat, hanya satu doaku. Aku rela masuk neraka bila dengan masuknya aku ke dalam neraka membuat ibuku berada di surga. Hanya itu saja doaku.
Selesai shalat aku pamit, mengecup tangan ibuku penuh haru dan terucaplah salam. Hatiku teramat lega dan lapang. Sulit aku kabarkan suasana kebebasan dalam diriku. Akupun berangakat menuju sekolah.*****Ibu pernah berpesan kepadaku. Hidup itu bagaikan sebuah rumah yang mempunyai dua pintu. Aku masuk dari salah satu pintunya dan keluar dari pintu lainnya kalau aku diperkenankan hidup kembali. Aku tidak mau mengecewakan ibu. Dan kini, ibuku hidup seorang diri. Seperti diriku kini, sendiri didalam sini. []

- Muhammad Furqon Az -

Sumber : Buku "Lamitta" Hal. 262 - 268. Penerbit Diva Press - Desember 2012.

@Ardfir10

Powered by Telkomsel BlackBerry®










No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...